Perlukah Mempertontokan Kebaikanmu?

Oleh : Mulyono Taufik

(Penyuluh Agama Islam Kec. Kemlagi)

Ibnu al Jauzi mengisahkan sebuah cerita yang didapatnya dari Abdulah ath-Thusi. Muhammad bin Aslam berkata kepada ath-Thusi, ‘’Wahai Abdullah, mengapa aku harus melakukan perbuatan demi dan karena orang lain? Aku dulu berada dalam tulang sulbi ayahku sendirian, Ketika beralih ke dalam Rahim ibuku pun aku sendirian, kemudian aku terlahir di dunia fan aini sendirian, lalu ruhku dicabut dalam kesendirian juga, kemudian aku dimasukkan ke dalam liang kuburku dalam keadaan sendirian, aku juga sendirian Ketika malaikat Munkar dan Nakir bertanya dalam liang lahatku, jika aku menuju kenikmatan, maka aku sendiriyang menikmatinya, jika aku mengarah ke siksa kubur, maka akupun sendirian merasakannya, kemudian Ketika amal salehku dan amal burukku diletakkan di timbangan aku juga menghadapinya secara pribadi, jika aku diarahkan menuju surga, maka aku pun menikmatinya sendirian, andai aku diarak ke neraka, maka aku sendirilah yang merasakan deraan siksa itu.  Jadi, apa keperluanku terhadap orang lain?’’ kemudian, ia tampak tenggelamuntuk beberapa lama dalam tafakkurnya. Tiba-tiba ia terguncang sehingga aku cemas jika ia tersungkur.

Menjelaskan kedekatannya dengan Muhammad bin Aslam, ath-Thusi berujar, ‘’Aku telah bersahabat dengannya selama kurang lebih dua puluhan tahun. Selama itu, belum pernahaku menyaksikannya sedang menunaikan sholat sunnah, terkecuali dua rakaat sholat sunnah pada hari Jum’at. Tidak pernah kusaksikan ia tengah bertasbih atau sedang menderas al qur’an. Tidak ada seorang pun yang mengetahui ibadahnya yang rahasia maupun yang ditampakkannya melebihi diriku.’’

Ath-Thusi pernah mendengar Muhammad bin Aslam berucap, ‘’Andai tahu bagaimana caranya melaksanakan sunnah tanpa diketahui dau malaikat yang mengiringiku, niscaya itu kulakukan,. Akan tetapi, itu tak mungkin. Malaikat pengiringku pasti mengetahuinya. Ini semata-mata karena aku takut riya’. Sebab Nabi bersabda, ‘’Sedikit riya’ saja sudah syirik.’’

Kemudian, Ibnu Aslam menjumput sebuah kerikil, lalu meletakkannya di atas telapak tangannya. Ia bertanya padauk, ‘’Apakah ini sebuah batu?’’

Aku jawab, ‘’Iya.’’

Ibnu Aslam lalu menunjuk sebuah gunung yang berada di kejauhan dan bertanya, ‘’Bukankah gunung itu juga batu?’’

Lagi-lagi tidak dapat mengelak logika yang tengah dibangun oleh Muhammad bin Aslam dan rasa penasaran untuk mengetahui kesimpulan apa yang akan disibakkannya padauk, aku pun menjawab, ‘’Iya.’’

‘’Jadi, nama yang disematkan pada seuatu benda tanpa memandang besar kecilnya. Jika kerikil yang kecil ini dan gunung yang begitu besar itu keduanya adalah batu, demikian pula dengan sikap riya’. Sedikit atau banyak, tetap saja riya’ adalah syirik.’’

Demikian pula ketuka membaca al Qur’an atau tengah menangis teringat akan kebesaran Allah, Muhammad bin Aslam selalu sendirian. Ia juga tidak lupa berbekal segelas air dan celak ke dalam kamarnya. Jika habis menangis sementara terpaksa harus keluar kamar dan ada kemungkinan berinteraksi dengan orang lain, ia akan basuh terlebih dahulu wajahnya dengan air. Lalu, ia sapukan celak ke kedau kelopak matanya. Dengan demikian, tiada seorang pun yang menyadari bahwa ia sehabis menangis.’’

Muhammad bin Aslam terlampaui cemas jika harus mempertontonkan kebaikannya. Baginya, segenap perbuatan hanya didedikasikan kepada Yang Maha Esa. Tidak perlu atau bahkan keberatan orang lain mengetahuinya, kalua bisa, malaikat pun tidak.

Riya’ adalah mempertontonkan kebaikan kepada siapa pun adalah bentuk terhalus dari syirik. Dan itu bertentangan dengan prinsip keikhlasan dalam beramal. Al-Fudhail menyatakan bahwa urung berbuat kebaikan, karena pandangan orang lain, adalah riya’ itu sendiri dan bersegera mealakukan perbuatan baik, karena orang lain, adalah perilaku syirik.(1)

Itulah salah satu kisah tentang bagaimana seorang alim begitu takut ibadah yang dilakukannya tergolong masuk kategori riya’. Ia begitu hati-hati dalam menjaga seluruh ibadahnya agar benar-benar mampu murni hanya niatan karena Allah SWT.

Dan semoga kisah tersebut mampu menjadikan kita sebagai hamba yang dapat menjaga segala bentuk ibadah yang kita lakukan semata-mata untuk meraih ridlo Allah SWT. Terutama di bulan yang mulia saat ini, begitu banyak dari sekian ibadah yang dilakukan dengan dibungkus aneka pernak pernik godaan duniawi hanya untuk mendapat apresiasi dari orang lain yang justru itu akan menghilangkan nilai pahala dari ibadah itu di mata Allah SWT. Wallau ‘alam.

#KementerianSemuaAgama

Sumber : Imam Sibawaih El-Hasany & Yunan Askaruzzaman Ahmad, Tangisan Langit, Kisah-kisah Terpilih tentang Air Mata para Nabi dan Orang-orang Saleh, Lentera hati, 2013.

Leave a Comment