Puasa: Antara Takwa dan Lapar Dahaga

Oleh: Saikhul Hadi, S.Ag

Penyuluh Agama Islam Kecamatan Bangsal

Redaktur Suluh Agama, Pimred Kalam Maja

Saat ini kita sudah mendekati paruh pertama Ramadan 1445 H. Tentu sudah banyak amal dan ibadah yang kita jalani. Mulai dari ibadah ritual- wajib, hingga ibadah sosial – sunah. Kita berharap, amal saleh kita diterima Allah Swt.

Berdasarkan Al Quran di Surat Al Baqarah ayat 183, tujuan puasa adalah agar yang menjalaninya menjadi orang-orang yang bertakwa. Bicara tujuan, bisa dikiaskan dengan orang yang traveling ke Jakarta. Jika ia tidak sampai ke Jakarta, maka bisa disebut travelingnya gagal. Demikian juga dengan puasa. Bila orang yang puasa tidak bisa menjadi orang yang bertakwa, maka bisa dikatakan puasanya cuma dapat lapar dahaga saja, kalau tidak mau dianggap seluruh ibadahnya sia-sia. Alangkah sayangnya.

Kita sudah sering mendengar apa yang disebut takwa. Definisi paling umum, takwa adalah menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Inti takwa pada dasarnya adalah menyadari kehadiran Allah Swt, dimanapun, bagaimanapun, dan kapanpun kita berada.

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Surat al-Hadid: 4)

Kesadaran akan hadirnya Allah dalam kehidupan akan membentuk karakter dan perilaku yang positif. Dalam bahasa agama disebut dengan akhlak mulia. Jadi, takwa mempunyai korelasi positif dengan perilaku luhur atau akhlak mulia. Kenapa demikian? Sebab dengan menyadari kehadiran Allah, seseorang tidak mungkin melakukan perbuatan yang tidak diridhai Allah Swt. Dalam satu riwayat, Nabi Muhammad bersabda bahwa yang paling banyak membuat manusia masuk surga adalah takwa dan akhlak mulia.

Lalu bagaimana puasa bisa membawa manusia ke level muttaqin? Puasa berbeda dengan ibadah-ibadah ritual lainnya, seperti salat, zakat, dan haji. Ketiga ibadah ini mengandung unsur demontratif atau show up. Salat jamaah, jelas bareng-bareng. Zakat pun perlu ditampakkan kepada orang lain. Lebih-lebih haji, seluruh dunia tahu. Bagaimana dengan puasa?

Dalam satu hadis qudsi riwayat Imam Bukhari, Allah berfirman: “Setiap amal anak Adam bagi dirinya, kecuali puasa. Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang menanggung pahalanya.” Puasa adalah ibadah yang sangat personal dan sangat vertikal. Hanya pelaku dan Allah yang tahu. Puasa adalah ibadah yang sunyi senyap. Saat sendirian sunyi dan sepi, bisakah kita menjaga puasa kita dari hal-hal yang membatalkan dan merusak pahala puasa?

Di sinilah awal ketakwaan disemaikan. Yakni kesadaran akan pengawasan Tuhan, yang diwujudkan dengan menahan diri dari hal-hal yang menjadi larangan. Saat panas terik menyengat, dan tenggorokan terbakar, tergodakah kita untuk meneguk air di ruang sepi? Di saat sangat butuh, tergodakah kita untuk mengambil uang kantor untuk kepentingan sendiri? Dan seterusnya.

Kata kunci dalam ibadah puasa adalah menahan, al imsak. Kelemahan manusia yang terbesar adalah ketidakmampuan menahan diri. Puasa menjadi sarana latihan mental serta benteng rohani agar mampu menjadi jiwa yang kokoh. Lapar, haus, dan letih adalah gambaran situasi duniawi sesaat yang harus dihadapi dengan kesabaran. Pada akhirnya akan ada waktu berbuka. Di situlah kita bisa merasakan nikmat yang luar biasa, meskipun hanya seteguk air.

Muara puasa adalah takwa. Maka jangan berbelok sebelum sampai di sana. Meskipun kanan kiri godaan merayu kita. Terus saja berjalan, meski kadang lapar dan dahaga menusuk raga. Di ujung sana ada yang lebih mulia. Yakni kemuliaan takwa di mata Sang Pencipta.

Leave a Comment