Oleh: Saikhul Hadi, S.Ag*

Hadir Sebagai Inspirasi

Ramadan sudah di depan mata. Dalam hitungan hari, kita akan memasuki ruang waktu bulan suci tersebut. Sebentar lagi kita akan melihat gegap gempita menyambut Ramadan. Marbahan ya Ramadan. Dalam siklus waktu, bulan Ramadan tak ubahnya pergantian bulan-bulan lainnya. Namun dari sisi religiusitas, bulan ini lain daripada yang lain. Bahkan dari sisi penjiwaan penyambutannya saja, Ramadan sudah bisa membedakan dua golongan.

Pertama, orang-orang yang jiwanya berkata, “Yah, sudah Ramadan lagi.” Kadang secara verbal terucap kalimat, “Wah cepat banget, sudah puasa lagi, padahal perasaan baru kemarin lebaran.” Kelompok ini memang tidak menolak Ramadan, sebab penolakan mereka tidak ada artinya bagi laju sang waktu. Namun, ungkapan mereka menggambarkan jiwa mereka yang merasa berat, gelisah, dan tidak ikhlas dengan kehadiran Ramadan. Sebab Ramadan datang dengan membawa segala atributnya, yang dirasakan sebagai pembatasan aktifitas dari yang sebelas bulan biasa dilakukan. Gambarannya seperti murid-murid SD yang mendapat PR dari guru. Mereka tidak kuasa menolak, namun hatinya menggerutu: “Huh… PR lagi, PR lagi.” Jiwa-jiwa yang demikian tetap menerima Ramadan, namun setengah hati, dan melaksanakan puasa sebagai bentuk pengguguran kewajiban saja.

Kedua, orang-orang yang jiwanya berkata, “Alhamdulillah, saya dipertemukan kembali dengan Ramadan.” Ada luapan emosi yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam. Bagi mereka, waktu berjalan lambat sekali sehingga kedatangan Ramadan sudah sangat-sangat ditunggu. Gambarannya seperti seorang kekasih yang ditinggal pujaan hatinya. Dan sebentar lagi sang pujaan hati datang mengetuk pintu. Mereka adalah orang-orang yang sungguh-sungguh merindukan Ramadan; Ramadan adalah ruang waktu perjumpaan dengan kekasih. Bahkan sebelum sosoknya datang, bayangannya saja sudah membuat dada berdebar. Sehingga begitu Ramadan berdiri di depannya, mereka melupakan segalanya demi satu tujuan, berasyikmasyuk dengan sang Ramadan.

Dari sudut pandang ini, kita bisa mengukur diri sendiri, tergolong manakah kita dalam menyambut Ramadan? Kelompok pertama atau kedua?

Pernahkah terbersit dibenak anda pertanyaan, mengapa harus ada Ramadan? Mengapa harus ada sebulan dalam setahun, umat Islam dilarang makan minum dan aneka kesenangan ragawi lainnya sepanjang hampir 12 jam lamanya? Betapa merepotkannya itu! Kenapa kok tidak seminggu saja! Kenapa tidak dibuat aturan seminggu puasa seminggu tidak? Atau dibuat lebih fleksibel lagi. Dalam setahun diwajibkan puasa 30 hari tetapi bebas milih kapan bulan dan tanggalnya, yang penting terpenuhi 30 hari. Singkatnya, dalam pertanyaan nakal, kok Tuhan tega banget ‘menyiksa’ hamba-hambanya kelaparan dan kehausan sebulan bleng. Belum lagi dengan salat tarawih yang jumlahnya puluhan rakaat itu. Memang sih hukumnya sunnah, tapi kesannya sudah menjadi hal wajib di setiap Ramadan tiba.  

Jika dijawab dengan serentetan dalil Quran dan Sunnah, maka pertanyaan di atas sebenarnya selesai. Namun bagi saya pribadi, dan bisa jadi sebagian orang, jawaban model dogmatis-didaktik seperti itu kadang tidak selalu memuaskan dahaga keingintahuan yang sudah kadung membuncah di ubun-ubun. Karena seringkali teks atau nash yang dipahami secara harfiah malah membatasi ruang pikiran untuk menelisik pengetahuan secara lebih mendalam dalam rangka mengungkap sisi-sisi kebenaran yang tersembunyi atau tersirat. Sebagaimana diungkapkan Ibnu Arabi bahwa setiap sisi kehidupan di dunia ini mengandung dua makna: lahir dan batin. Terlebih jika menyangkut ibadah, puasa dalam hal ini, nilai batinnya pastilah lebih luas dan dalam ketimbang makna lahirnya.

Karena selama ini, puasa cenderung didekati dari makna lahir, maka yang terjadi, seperti yang kita saksikan: Ramadan menjadi ibadah ritual semata setahun sekali; Ramadan jadi lahan bisnis baru dalam memasarkan komoditi; Ramadan mirip dengan festival ibadah dengan segala gemerlapnya; dan sebagainya dan sebagainya. Memang, tentu sangat baik jika masjid, musola, maupun surau penuh dengan jamaah, dan orang bersedekah meningkat tajam. Namun, semua itu tidaklah cukup. Karena baru indikator lahiriah. Buktinya begitu selesai Ramadan, tempat-tempat ibadah kembali senyap seperti bulan-bulan sebelumnya. Tak usah dibantah. Itu fakta di sekeliling kita.

Lalu bagaimana memahami Ramadan? Bagi saya, hidup ini ibarat orang yang mendaki gunung. Tujuannya jelas dan gamblang, yakni puncak gunung, sebagai perlambang dari puncak kehidupan, yakni Allah Swt. Mencapai puncak berarti kita kembali kepada Allah, Tuhan Sang Pencipta. Bukan main tingginya gunung ini, sebab harus kita daki sepanjang hayat dikandung badan. Tanjakan musibah, turunan bencana, juga dataran kenikmatan. Itu sebagian yang mesti dilalui oleh setiap pendaki. Lelah, capai, pegal, kehabisan bekal adalah sebagian kendala yang dihadapi.

Sebagaimana dalam pendakian gunung, selalu ada pos sebagai tempat istirahat para pendaki, sebelum melanjutkan perjalanan yang nantinya juga akan dijumpai pos lagi. Dan seterusnya. Orang yang pernah mendaki gunung, sangat paham arti penting pos pendakian. Di sana mereka istirahat secukupnya; jika ada yang sakit harus segera diobati; menyiapkan bekal; menyusun strategi; melihat peta kembali, sudah on the track atau salah jalan; merefresh pikiran dan semangat; serta mengevaluasi perjalanan sebelumnya. Setelah dirasa cukup, mereka kembali mendaki dengan tenaga dan kekuatan baru.

Nah, bagi saya, Ramadan adalah pos dalam rute pendakian gunung kehidupan kita. Sebelas bulan kita mendaki gunung dibalut dengan kelelahan dan kekeringan spiritual. Allah Swt. memberi hadiah Ramadan untuk kita gunakan sebagai pos peristirahatan selama sebulan penuh. Di bulan ini, kita lihat kembali peta pendakian hidup kita. Sudahkah on the track menuju puncak, yakni Allah, atau melenceng jauh atau bahkan tersesat. Di bulan ini, kita tengok perbekalan. Bukan harta benda dunia. Tapi sebaik-baik perbekalan, yaitu takwa dan iman. Masih tebal atau sudah sangat tipis, atau hilang sama sekali iman dan takwa kita. Itu fokus kita. Itu sebabnya kita diminta untuk mengurangi kesenangan ragawi agar bisa konsentrasi memikirkan kondisi rohani kita. Di bulan ini kita cek adakah penyakit yang menempel di hati kita. Di bulan ini, kita teliti kembali pikiran-pikiran kita tentang hidup. Serta di bulan ini pula kita evaluasi pendakian hidup kita sebelas bulan sebelumnya.

Jika semua itu kita lakukan, di ujung Ramadan, hidup kita diibaratkan bayi. Bukan dalam arti kecil dan lemah, tetapi sebagai simbol dimulainya pendakian baru dengan tenaga, kekuatan, semangat, pikiran, serta iman yang baru dan penuh. Sehingga dari tahun ke tahun pendakian kita semakin lama semakin mendekati puncak. Dari Ramadan satu ke Ramadan lain, langkah kita, hati kita, hidup kita semakin dekat dengan Allah Swt. Tidak sebaliknya, menjadi jalan memutar yang melingkar-lingkar sehingga kita tidak pernah sampai ke mana-mana.

Sayangnya, kita kerap menjadikan Ramadan sebagai ‘mesin cuci’ dosa. Baju yang setahun ini penuh lumpur kesalahan, dimasukkan mesin cuci merek Ramadan. Setelah bersih dipakai lagi untuk melakukan kesalahan yang sama.

Sayangnya, kita biasa menganggap Ramadan sebagai mall yang menggelar obral pahala superjumbo. Dalam sebulan ini kita memborong semua kebaikan, lalu sebelas bulan berikutnya kita berhemat dalam kebaikan.

Sayangnya, kita terlanjur membuat Ramadan sebagai medan berburu berkah, seolah-olah di luar Ramadan Allah tidur dan lupa menebarkan berkah kepada hamba-hamba-Nya.

Sayangnya, kita masih memandang Ramadan sebagai ibadah lapar dahaga. Dan diam-diam mental pikiran kita masih persis anak balita yang menyamakan Ramadan dengan membereskan tempat tidur, yang jika dikerjakan berharap mendapat pujian dari orangtua dan sebutir manisan.

Lalu kapan kita benar-benar merindukan Ramadan sebagai waktu perjumpaan dan bermesraan dengan Sang Kekasih?

Selamat merindukan Ramadan. Wallahu a’lam bisshawab

*Penyuluh Agama Islam Kementerian Agama Kab. Mojokerto

#KementerianSemuaAgama

Leave a Comment